Diantara tema dalam Islam yang masih menjadi penyebab keretakan hubungan dikalangan umat Islam adalah perbedaan persepsi mengenai makna bid’ah. Sebagian kelompok dalam Islam terlalu ketat memahami bid’ah, sehingga berasumsi bahwa semua yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam masalah agama adalah bid’ah yang tercela dan harus ditinggalkan. Sebagian kelompok yang lain terlalu longgar memahami makna bid’ah sehingga menganggap beberapa tradisi masyarakat sebagai bagian dari agama yang harus dilestarikan. Sebenarnya, bagaimanakah pemahaman yang tepat mengenai bid’ah?
Ma’asyiral muslimin rahimukumallah...
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallambersabda dalam sebuah hadis:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa yang mengada-adakan sesuatu yang baru dalam urusan kami (agama) ini yang hal itu bukan termasuk bagian darinya, maka hal itu tertolak.” (Hr. Muslim)
Dalam hadis yang lain yang lebih tegas, Rasulullah memberikan wasiat kepada para sahabat dalam sabdanya:
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“Aku berwasiat kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat kepada pemimpin, walaupun ia seorang hamba sahaya berkulit hitam. Sesungguhnya orang yang diberi umur panjang diantara kalian, akan melihat perselisihan yang banyak. Maka hendaklah kalian berpegang kepada sunnahku, dan sunnah para khalifah yang mendapat petunjuk lagi sesudahku. Peganglah dengan erat, dan gigitlah dengan gigi gerahammu. Dan jauhilah oleh kalian mengada-adakan hal baru (dalam agama). Karena sesungguhnya semua hal yang baru dalam agama adalah bid’ah, dan semua bid’ah adalah kesesatan.” (Hr. Abu Dawud, an-Nasa’i, at-Tirmidzi dll)
Makna kedua hadis tersebut secara tekstual cukup jelas, yaitu larangan mengada-adakan hal yang baru dalam agama, dan bahwa semua hal yang baru dalam agama tertolakdan termasuk bid’ah dan kesesatan. Akan tetapi, yang masih menjadi perdebatan sejak abad pertama hijriyyah adalah mengenai substansi makna bid’ah; dalam hal apakah perbuatan yang baru itu dikategorikan sebagai bid’ah yang sesat dan tercela? Apakriteria dan batasan-batasannya?
Inilah yang membuat umat Islam berbeda pendapat sampai hari ini. Yaitu ketika membahas tentang beberapa amalan dalam agama, apakah hal itu termasuk bid’ah atau tidak?Apakah ada bid’ah yang baik (hasanah) ataukah semuanya sesat (Dholalah)?Bagaimana dengan beberapa amalan yang menjadi bagian dari syiar umat Islam dan sudah diamalkan oleh umat Islam selama berabad-abad seperti peringatan maulid, nuzulul Qur’an dan yang semacamnya, apakah termasuk perbuatan bid’ah?Apakah simbol-simbol modernisasi seperti kemajuan teknologi, bentuk bangunan dan infrastruktur yang lain, sistem sosial masyarakat dan sistem pendidikan, manajemen keuangan dan lainnya juga termasuk bid’ah ataukah tidak?
Baca juga : Sikap mukmin ketika sakit...
Oleh karena itulah diperlukan cara pandang yang moderat dalam memahami masalah-masalah seperti bid’ah ini. Karena moderasi adalah karakteristik yang paling menonjol dari umat ini, sebagaimana difirmankan oleh Allah dalam surat Al-Baqarah 143:
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا...
“Dan demikianlah Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) sebagai umat yang pertengahan (moderat) agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu...”(Qs. Al-Baqarah: 143)
Secara bahasa, kata bid’ah berkisar tentang makna inovasi, membuat sesuatu yang baru atau melakukan hal yang belum pernah dilakukan oleh orang lain. Hal yang baru ini bisa bernilai positif ataupun negatif, sehingga secara bahasa bid’ah tidak selalu tercela.Jika dihubungkan dengan agama, maka bid’ah berarti menambahkan hal baru dalam bentuk keyakinan atau amalan-amalan.Hal ini tentunya dilarang, karena agama ini sudah final dan sempurna ketika Rasulullah wafat, sebagaimana pernyataan Allah dalam Surat al-Maidah ayat 3.
Ma’asyiral muslimin rahimukumallah...
Walaupun secara bahasa kata bid’ah diketahui maknanya secara jelas, akan tetapi ketika para ulama memberikan definisi secara terminologi, terjadi perbedaan-perbedaan yang sangat banyak. Imam Asy-Syathibi misalnya mendefinisikannya dengan: “Metode atau cara yang baru dalam beragama yang menandingi syariat Allah dan mempunyai tujuan yang sama dengan syariat Allah tersebut.”Sedangkan menurut Ibn Rajab al-Hambali bid’ah adalah: “Sesuatu yang baru yang tidak ada dalilnya dalam syariat Allah.” Dan barangkalai definisi yang paling tepat dan mewakili hakekat bid’ah adalah definisi yang dibuat oleh Ibn Hajar yaitu: “Sesuatu yang baru dalam agama yang tidak ada dalilnya baik dalil umum maupun dalil khusus.”
Kita bisa melihat bahwa perbedaan dalam memberikan definisi ini akan berdampak pada konsekuensi memasukkan perbuatan-perbuatan tertentu sebagai bid’ah atau tidak. Definisi tersebut juga masih meninggalkan grey area (sisi abu-abu) yang mempunyai potensi memunculkan intepretasi yang berbeda, yaitu mengenai apa yang dimaksud dengan urusan agama atau syariat Allah? Misalnya: Apakah membangun masjid dengan desain tertentu termasuk syariat Allah atau tidak? Apakah dzikir dengan pengeras suara termasuk urusan agama ataukah tidak?Apakah membuat kurikulum sekolah Islam termasuk dalam syariat Allah atau tidak?Dan apakah boleh berinovasi dalam masalah-masalah tersebut?
Ma’asyiral muslimin rahimukumallah...
Jika kita melihat ajaran Islam secara umum, kita akan menemukan bahwa syariat Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad bisa dibagi menjadi tiga komponen utama, yaitu: aqidah, ibadah dan muamalah. Aqidah adalah sistem keyakinan yang menjadi pondasi bagi ke-Islaman seseorang.Ibadah adalah aplikasi praktis dari perwujudan keyakinan tersebut, yang menjadi sarana seorang hamba untuk berinteraksi dengan Sang Pencipta. Sedangkan mualamalah adalah sistem sosial yang mengatur hubungan seorang muslim dengan muslim yang lain, atau dengan non-muslim dan makhluk hidup yang lain.
Masing-masing komponen syariat tersebut mempunyai karakteristiknya sendiri. Aqidah yang merupakan bagian terpenting dalam syariat mempunyai karakteristik tetap (tsabit) dan baku. Ia tidak pernah berubah dan tidak akan berubah sejak Islam didakwahkan oleh Nabi Muhammad di Makkah al Mukarramah sampai hari kiamat nanti. Sumber aqidah haruslah berupa wahyu yaitu Al-Qur’an, atau hadis-hadis Nabi yang mempunyai derajat yang shahih, karena ia akan menjadi landasan bagi keyakinanseorang muslim. Oleh karena itu, aqidah tidak mempunyai fleksibilitas untuk menerima penambahanan, pengurangan dan modifikasi. Sehingga dapat disimpulkan, penambahan dalam bentuk apapun dan dalam kadar berapapun tidak diterima dalam masalah aqidah.
Ibadah juga mempunyai karakteristik yang membedakannya dengan dua komponen lainnya. Secara umum, ibadah bisa dibagi menjadi dua: Mahdhoh dan Ghairu Mahdhoh. Ibadah Mahdhoh adalah ibadah yang tata cara pelaksanaanya sudah ditentukan oleh Allah dan Rasulnya. Contohnya adalah shalat, puasa, haji dll. Secara logis bisa dipahami bahwa seorang hamba tidak akan mampu melakukan pemujaan atau pengabdian (beribadah) sesuai dengan yang diinginkan oleh Tuhannya, kecuali apabila Tuhannya menjelaskannya kepadanya. Artinya, bahwa sumber tatacara beribadah itu hanyalah dari Allah sebagai Dzat yang disembah, bukan atas kreasi dan inovasi manusia sebagai makhluk yang diperintahkan untuk mengabdi kepada Allah. Oleh karena itu, dalam Ibadah Mahdhoh para ulama menetapkan kaidah yang sangat penting yang harus diketahui oleh setiap muslim yaitu:
اَلْأَصْلُ فِي الْعِبَادَاتِ التَّحْرِيْمُ، حَتَّى يَأْتِيَ الدَّلِيْلُ عَلَى مَشْرُوْعِيَّتِهَا
Artinya: Hukum asal ibadah (yang mahdhoh) adalah haram, sampai datang dalil yang menunjukkan disyariatkannya ibadah tersebut.
Dengan demikian, maka ibadah mahdhoh tidak bisa dikurang dan tidak bisa ditambah.Tidak ada ruang untuk melakukan inovasi dalam ibadah mahdhoh.Misalnya: Shalat; kita tidak bisa menambah jumlah rakaat, menambah bacaan, mengurangi gerakan, merubah waktu shalat dll. Semuanya sudah ditentukan oleh Allah dan Rasul-Nya, dan sama sekali tidak bisa diganggu gugat. Karena hukum asalnya, kita tidak boleh shalat sampai ada dalil yang menyuruh kita untuk sholat dan menjelaskan caranya.Demikian juga puasa.Kita tidak diperkenankan untuk membuat jenis puasa baru, atau menentukan waktu baru pada bulan lainselain Ramadhan.Hajipun demikian.Waktunya dan tata caranya sudah ditentukan oleh Nabi.Maka tidak boleh kita berhaji kecuali di bulan-bulan haji, dan harus sesuai dengan syarat rukun yang Rasulullah ajarkan.
Sedangkan mu’amalat mempunyai karakteristik yang sama sekali bertolak belakang dengan ibadah. Karena interaksi sesama manusia mempunyai ruang yang sangat luas, bahkan tanpa batas. Oleh karena bidang ini tidak bisa diberikan aturan yang rinci mengenai kapan waktunya, bagaimana cara melaksanakannya dll..Akan tetapi, batasan itu itu ditetapkan oleh syariat dalam hal-hal yang tidak diperbolehkan atau haram untuk dilakukan. Maka kaedah dalam ber-mu’amalat adalah :
اَلْأَصْلُ فِي الْمُعَامَلَاتِاْلِإبَاحَةُ، حَتَّى يَأْتِيَ الدَّلِيْلُ عَلَى تَحْرِيْمِهَا
Artinya: hukum asal mu’amalat adalah boleh, sampai datang dalil yang mengharamkannya.
Maknanya, kita boleh melakukan apa saja dalam masalah interaksi sesama manusia; dalam jual beli, bertetangga, hubungan sosial, hubungan pekerjaan dll, kecualijika hal tersebut dilarang olehsyariat, maka pada titik itu kita harus berhenti dan tidak boleh melakukannya.Misalnya: kita boleh berdagang apa saja, dimana saja, dengan cara apa saja, dengan siapa saja, kecuali hal-hal yang diharamkan, seperti: berjual beli dengan riba, menjual sesuatu yang tidak diketahui (gharar), menjual sesuatu yang tidak dimiliki, menjual sesuatu yang memudharatkan, berjual beli di masjid, berjual beli setelah adzan shalat Jum’at dikumandangkan dan seterunya.
Baca juga : Sanksi menipu rakyat...
Dalam konteks ini, ibadah ghairu mahdhah mempunyai hukum yang sama dengan mu’amalat. Karena ibadahghairu mahdhahsesuai definisi para ulama adalah; segala perbuatan manusia yang diniatkan untuk mendapatkan ridha Allah.Sebagian dari ibadah ghairu mahdhah pada asalnya adalah perbuatan mubah, tetapi karena diniatkan untuk mencari ridha Allah, maka bernilai ibadah.Misalnya; tidur. Tidur adalah perbuatan mubah, namun kalau kita berniat tidur agar besok ketika bangun kita segar kembali dan mampu bekerja untuk memberi nafkah keluarga, maka tidur kita bernilai ibadah. Contoh lain: berolah raga. Perbuatan ini hukum asalnya mubah, akan tetapi kalau kita niatkan agar tubuh kita sehat, sehingga mampu berdakwah dengan lebih baik lagi, maka menjadi bernilai ibadah.
Sebagian dari ibadah ghairu mahdhahmerupakan perbuatan yang dianjurkan, atau bahkan diwajibkan oleh syariat. Akan tetapi, syariat tidak memerinci tata cara dan waktunya. Misalnya: memberi nafkah kepada keluarga bagi seorang suami adalah kewajiban. Tetapi, tidak ada penjelasan detail mengenai kapan harus melakukannya, dimana harus melakukannya, berapa rupiah harus diberikan setiap bulandst. Maka seoang suami boleh bekerja di manapun, kapanpun, dan mendapatkan gaji seberapapun, selama tidak jatuh kepada hal yang diharamkan.Berarti, dalam ibadah ghairu mahdhah, kita boleh berkreasi dan berinovasi sesuai dengan situasi dan kondisi kita masing-masing.
Ma’asyiral muslimin rahimukumallah...
Dari pemaparan diatas, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa urusan agama yang dimaksud dalam definisi bid’ah, yaitu: masalah aqidah dan ibadah mahdhah, yang keduanya sama sekali tidak bisa dirubah, ditambah dan dikurangi.Adapun yang selain itu, maka boleh dilakukan selama mendatangkan kemashlahatan sesuai dengan tujuan dasar pensyariatan yaitu mewujudkan kemashalatan bagi manusia.Dengan demikian, syarat sesuatu dianggap sebagai bid’ah adalah:yang pertama;Merupakan hal yang baru yang tidak pernah dicontohkan, diajarkan atau dilakukan oleh Nabi. Dan yang kedua;Hal baru tersebut merupakan bagian dari masalah aqidah atau ibadah mahdhah.Jika tidak terpenuhi dua syarat tersebut maka sesuatu tidak bisa dianggap sebagai bid’ah yang sesat yang dilarang oleh agama.
Jika ada yang bertanya: bagaimana dengan peringatan maulid, nuzulul Qur’an dll, apakah termasuk bid’ah? Maka jawabannya: jika dalam peringatan maulid seseorang membuat bentuk ibadah mahdhah yang baru, misalnya puasa maulid, atau shalat maulid, atau membaca bacaan-bacaan tertentu dengan berkeyakinan bahwa hal dianjurkan atau diwajibkan, maka hal ini jelas bid’ah. Tetapi jika dalam peringatan maulid hanya berupa kegiatan untuk mengingatkan masyarakat dan menjadi syiar Islam dengan membuat kajian, bakti sosial dll, maka semua ini masuk dalam ranah mua’malat atau ibadah yang ghairu mahdhah, yang boleh dilakukan selama tidak jatuh kepada hal dilarang.
Semoga dengan pemaparan ini, kita semakin memahami makna bid’ah dan mempunyai toleransi yang lebih baik terkait perbedaan-perbedaan yang terjadi dalam masalah agama.