Puji syukur kita panjatkan kepada Allah Subhanahu wata'ala, atas berbagai nikmat yang dianugerahkan kepada kita; nikmat iman, nikmat rezeki dan nikmat sehat, sehingga kita bisa menunaikan ibadah jum’at pada hari ini. Sebagai seorang muslim, kita harus selalu bertakwa kepada Allah, dalam kondisi apapun, baik suka maupun duka, baik sehat maupun sakit, baik dalam kelapangan rezeki ataupun kesempitan. Ketika mendapat nikmat, bentuk ketakwaan kita adalah dengan bersyukur kepada Allah, dan menggunakan nikmat tersebut untuk beribadah kepada-Nya. Dan ketika kita mendapat musibah, maka bentuk ketakwaan kita adalah dengan bersabar. Kita sadar, apapun yang kita hadapi dalam kehidupan, tidak lain merupakan ujian dari Allah, untuk melihat hamba-Nya yang mampu melewati ujian tersebut dengan baik. Allah berfirman dalam QS. al-Anbiya`: 35.
وَنَبْلُوكُم بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ
Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kami-lah kalian dikembalikan.” (QS. al-Anbiya`: 35)
Ayat di atas menyebutkan bahwa Allah menguji manusia, kadang dengan musibah dan kadang dengan nikmat, supaya terbukti siapa yang bersyukur, siapa pula yang kufur, siapa yang bersabar dan siapa yang berputus asa. Ujian kenikmatan kadang berupa harta yang banyak, wajah yang rupawan, kecerdasan dan prestasi akademik, kedudukan dan status sosial, anak-anak yang berprestasi dan lain-lain. Sedangkan ujian berupa keburukan bisa berwujud kemiskinan, hutang yang melilit, anggota tubuh yang tidak sempurna, anak-anak yang durhaka, sakit yang menahun dan sebagainya.
Jama'ah Jum'at Rahimakumullah.
Salah satu nikmat yang sangat besar yang dikaruniakan Allah kepada manusia adalah nikmat sehat. Kesehatan adalah nikmat agung, akan tetapi banyak orang tidak menyadarinya. Ketika ia ditimpa penyakit, barulah ia sadar betapa tinggi nilai nikmat sehat yang dikaruniakan Allah. Inilah sikap kebanyakan manusia, sebagaimana digambarkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam,
نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ
“Dua nikmat yang sering dilupakan oleh kebanyakan manusia, yakni sehat dan waktu luang.” (HR. Bukhari)
Sebagai bentuk ujian, nikmat sehat harus disyukuri dengan cara mengakui dan mengingat bahwa kesehatan yang kita rasakan adalah semata-mata karunia Allah dan tidak menganggapnya sebagai pemberian yang remeh. Selain itu, kita harus menggunakannya sesuai kehendak Allah, memanfaatkan badan yang sehat untuk ketaatan dan hal-hal yang bermanfaat. Dengan kata lain, jika kita bermaksiat dengan anggota tubuh kita, berarti kita telah mengkufuri nikmat Allah.
Adapun jika kita mendapatkan ujian berupa sakit, maka yang harus dilakukan adalah bersabar atas ketentuan Allah. Tetapi tidak berarti kita berputus asa dan tidak melakukan usaha apapun untuk bisa membebaskan diri dari penyakit yang diderita. Justru Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam mengajarkan, agar kita melakukan hal yang mungkin dilakukan manusia, dalam usaha untuk sembuh dari penyakit.
Baca juga : Sanksi menipu rakyat...
Lalu apakah usaha yang seharusnya kita lakukan ketika sedang sakit? Yang Pertama adalah: berdo’a kepada Allah. Dalam hadis shahih, yang diriwayatkan oleh Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu anha, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu membacakan doa perlindungan kepada keluarga beliau apabila sedang sakit. Beliau mengusapkan tangan kanannya seraya membaca :
اللَّهُمَّ رَبَّ النَّاسِ أَذْهِبِ الْبَأْسَ، اشْفِ وَأَنْتَ الشَّافِي، لاَ شِفَاءَ إِلاَّ شِفَاؤُكَ، شِفَاءً لاَ يُغَادِرُ سَقَمًا
“Ya Allah, Rabb semua manusia, hilangkanlah penyakit ini dan sembuhkanlah, Engkau adalah asy-Syafi (Yang Maha Penyembuh), tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan dari-Mu, kesembuhan yang tidak meninggalkan penyakit lain.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Dalam doa tersebut Rasulullah ingin mengajarkan, bahwa seorang muslim harus meyakini bahwa Allah-lah satu-satunya Dzat Yang Maha Menyembuhkan, tidak ada kesembuhan penyakit selain kesembuhan dari Allah yang Maha Penyembuh, sebagaimana ucapan Nabi Ibrahim ‘alaihissallam yang dinukil dalam Alqur’an.
وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ
“Dan apabila aku sakit Dialah Yang menyembuhkan aku.” (QS. asy-Syu’ara’: 80).
Usaha apapun yang akan dilakukan manusia agar terbebas dari penyakit; baik dengan terapi herbal, akupunktur, pijat refleksi, berobat ke dokter, meminum obat kimia, tindakan operasi, dan lain-lain, maka ketika ia berhasil sembuh setelah melakukan usaha-usaha tersebut, hendaklah ia mengingat, menyadari dan meyakini, bahwa Allah-lah yang telah menyembuhkannya, bukan berbagai jenis obat-obatan yang ia minum. Oleh karena itulah, dalam doa tersebut Rasulullah mengucapkan: “Tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan (dari)-Mu”.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah ketika menjelaskan makna doa Rasulullah di atas, beliau berkata: “Dalam ruqyah ini terdapat usaha untuk mendekatkan diri kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan kesempurnaan sifat rububiyah-Nya; yaitu pengaturan-Nya atas semua urusan makhluk-Nya, dan rahmat-Nya dalam menyembuhkan, dan bahwa Dialah satu-satunya Yang Maha Penyembuh, tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan dari-Nya. Maka, ruqyah ini mengandung usaha untuk mendekatkan diri kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan mentauhidkan-Nya dalam rububiyah-Nya”.
Langkah kedua ketika sakit adalah melakukan usaha-usaha yang mungkin, sesuai dengan kemampuan kita untuk berobat dengan berbagai jenis pengobatan yang kita harapkan bisa menjadi sarana kesembuhan kita, selama tidak bertentangan dengan syariat Allah.
Dalam menghadapi sakit, perlu diperhatikan bahwa pengobatan yang dibolehkan dalam Islam adalah sesuatu yang memiliki khasiat yang baik, logis, bahannya halal dan proses pembuatannya diperbolehkan oleh syari'at. Sebagaimana telah diisyaratkan oleh Rasulullah dalam sebuah hadis,
إِنَّ اللَّهَ أَنْزَلَ الدَّاءَ وَالدَّوَاءَ وَجَعَلَ لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءً فَتَدَاوَوْا وَلَا تَدَاوَوْا بِحَرَامٍ
“Sesungguhnya Allah menurunkan penyakit dan obat serta menjadikan untuk setiap penyakit ada obatnya. Maka berobatlah tapi janganlah berobat dengan yang haram.” (HR. Abu Dawud)
Mengenai pengobatan yang dilarang oleh syariat karena tidak logis, misalnya pengobatan yang mengandung unsur mistis atau kesyirikan. Contohnya adalah pengobatan yang dilakukan dengan interaksi dengan jin dengan cara yang tidak sesuai syariat, seperti yang dilakukan oleh para dukun. Manfaat yang dirasakan sebenarnya semu dan tidak nyata, dan proses pengobatan itu melalui penghambaan kepada para jin, yang hal itu merupakan perbuatan menyekutukan Allah. Nabi bersabda,
إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ
“Sungguh jampi-jampi, jimat dan tiwalah (guna-guna, susuk atau pelet) adalah syirik.” (HR.Ahmad, Abu Dawud, Baihaqi dan Hakim).
Adapun jenis-jenis pengobatan yang dihasilkan dari berbagai penelitian, percobaan dan pengalaman, maka selama bukan berupa makanan atau minuman yang diharamkan, hal itu boleh dilakukan sebagai usaha penyembuhan. Misalnya kedokteran modern dan jenis-jenis pengobatan tradisional dari berbagai Negara yang sudah diakui sebagai pengobatan yang berhasil.
Selain itu, dalam usaha mengobati suatu penyakit, terdapat hikmah yang bisa kita petik dari al- Qur’an Surat Yaasin ayat ke 36,
سُبْحَانَ الَّذِي خَلَقَ الْأَزْوَاجَ كُلَّهَا مِمَّا تُنْبِتُ الْأَرْضُ وَمِنْ أَنْفُسِهِمْ وَمِمَّا لَا يَعْلَمُونَ
Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.
Dari ayat tersebut kita bisa mengambil pengajaran bahwa penyakit yang menyerang tubuh manusia adalah karena adanya ketidakseimbangan, baik karena kekurangan atau kelebihan. Oleh karena itu, upaya kesembuhan bisa dilakukan dengan menambah yang kurang atau mengurangi yang berlebih. Atau dengan kata lain, dengan menyeimbangkan tubuh kita, melalui asupan nutrisi yang sesuai, dengan meminum obat ataupun herbal dari berbagai jenis tumbuhan yang hidup di bumi.
Baca juga : Ramadhan untuk kemashalahatan ummat...
Selain upaya penyembuhan dari luar, yang penting juga untuk dilakukan adalah menyembuhkan dari dalam diri sendiri. Yaitu berupa sikat ridha dalam menghadapi ujian sakit. Seorang yang sedang sakit hendaklah bersabar, tidak berburuk sangka kepada Allah, merasa ridha atas ketetapan Allah, dan mengharapkan pahala terbaik atas ujian yang menimpanya. Hendaknya ia menyadari, bahwa ujian adalah tanda cinta Allah atas hamba-Nya, selagi hamba itu ridha atas ujian yang menimpanya.
إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلَاءِ، وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلَاهُمْ فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا، وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ
“Sesungguhnya pahala yang besar sesuai besarnya cobaan, dan sesungguhnya Allah apabila mencintai suatu kamu, Dia akan mengujinya dengan musibah, maka barangsiapa yang ridha, maka Allah ridha kepadanya, dan barangsiapa yang marah,maka Allah pun marah kepadanya.” (HR. Tirmidzi)
Setelah muncul sikap ridha dan ikhlas atas ketetapan Allah, maka yang harus ditumbuhkan dalam dirinya adalah dorongan semangat untuk sembuh, berupa sikap optimis dan tidak berputus asa. Hal ini akan sangat membantu upaya penyembuhan yang dilakukan, agar terbebas dari sakit yang diderita.
Demikianlah sikap yang harus dilakukan oleh seorang mukmin ketika sakit, semoga bisa kita laksanakan apabila Allah menguji kita dengan ujian penyakit. Dan marilah kita berdo’a, memohon kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan nama-nama-Nya yang Maha Indah dan sifat-sifat-Nya yang Maha Sempurna, semoga Allah berkenan senantiasa memberikan kesehatan kepada kita, dan menganugerahkan kesembuhan yang tuntas, atas penyakit yang kita derita, amin ya rabbal alamin.
Oleh : H. Junni Al Jundi, S.Psi (Bidang Humas, PW IKADI DIY)