Mutsaqqoful Fikri (intelek dalam berfikir)

Mutsaqqoful fikri merupakan salah satu sisi pribadi muslim yang juga penting. Dimana salah satu sifat Rasul adalah fatonah (cerdas). Al Qur’an juga banyak mengungkap ayat-ayat yang merangsang manusia untuk berfikir, misalnya firman Allah yang artinya:

“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: “pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”. Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: “Yang lebih dari keperluan”. Demikianlah ALLAH menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir” (QS. Al-Baqarah [2]: 219)


Di dalam Islam, tidak ada satupun perbuatan yang harus kita lakukan, kecuali harus dimulai dengan aktifitas berfikir. Karenanya seorang muslim harus memiliki wawasan keislaman dan keilmuan yang luas.

Allah SWT berfirman yang artinya:

Katakanlah: “Samakah orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui?”‘, sesungguhnya orang-orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran”. (QS. Az-Zumar [39]: 9)

Islam memberi teladan kepada kita untuk mempelajari semua disiplin ilmu lewat sosok ulul-albab. Kata ‘Ulul-Albab’ yang disebut enam belas kali dalam Al-Qur’an itu adalah kelompok manusia tertentu yang diberi keistimewaan oleh Allah SWT. Mereka diberi pengetahuan, hikmah, dan kebijaksanaan, disamping pengetahuan yang mereka peroleh secara empiris.

“Allah memberikan hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barang siapa yang diberi hikmah, sungguh telah diberi kebajikan yang banyak. Dan tak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali ulul albab.” (QS. 2:269)

Di dalam Al-Qur’an Allah juga berfirman bahwa:
 
“Mereka adalah orang yang bisa mengambil pelajaran dari sejarah umat manusia.” (QS. 12:111)

“Mereka itulah orang-orang yang mendapatkan petunjuk dari Allah, dan mereka itulah ulul-albab.” (QS. 3:7)

Makna dari kalimat ‘mengambil pelajaran dari sejarah umat manusia’ memiliki arti yang kompleks yakni mempelajari sejarah berbagai bangsa dengan berbagai disiplin ilmu yang ada di dalamnya, untuk disimpulkan dan dijadikan satu pelajaran yang bermanfaat, yang dapat dijadikan petunjuk dalam mengambil keputusan di dalam kehidupan.

Kaum intelektual berbeda dengan sarjana dan ilmuwan. Mereka tidak hanya telah melewati pendidikan tinggi dan memperoleh gelar sarjana. Mereka juga tidak sekedar mendalami dan mengembangkan ilmu dengan penalaran dan penelitian. Tapi mereka adalah sekelompok orang yang terpanggil untuk memperbaiki masyarakatnya, menangkap aspirasi mereka, merumuskannya dalam bahasa yang dapat dipahami oleh semua orang, serta menawarkan strategi dan alternatif pemecahan.

Menurut Mac Gregor Burns, intelektual itu adalah orang yang terlibat secara kritis dengan nilai, tujuan, dan cita-cita, yang mengatasi kebutuhan-kebutuhan praktis. Dalam definisi ini, ‘orang yang menggarap hanya gagasan-gagasan dan data analitis adalah seorang teoritis’, ‘orang yang bekerja hanya dengan gagasan-gagasan normatif adalah seorang moralis’, dan ‘orang yang menggarap sekaligus menggabungkan keduanya lewat imajinasi yang teratur adalah seorang intelektual’. Jadi intelektual adalah orang yang mencoba membentuk lingkungannya dengan gagasan-gagasan analitis dan normatifnya.


Tugas seorang intelektual menurut International Encyclopaedia of the Social Science, adalah ‘menafsirkan pengalaman masa lalu masyarakat, mendidik pemuda dan tradisi dan ketrampilan masyarakatnya, melancarkan dan membimbing pengalaman estetis dan keagamaan berbagai sektor masyarakat’.
Konsep intelektual di dalam Islam, tidak cukup jika seseorang hanya memahami sejarah bangsanya, dan sanggup melahirkan gagasan-gagasan analitis dan normatif saja, tetapi dia juga harus seorang Islamologis atau menguasai sejarah Islam. Untuk menyebut intelektual plus ini, Al-Qur’an mempunyai istilah khusus yakni Ulul-Albab.

Siapakah yang pantas untuk disebut ulul-albab, dan tanda-tanda apa saja yang ada pada diri mereka?

Selain beberapa keistimewaan sebagaimana tersebut di atas, tanda-tanda dari ulul-albab menurut Al-Qur’an antara lain:

1. Bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu
 
“Dan orang yang bersungguh-sungguh dalam ilmu pengetahuan, mengembangkannya dengan seluruh tenaganya, sambil berkata, ‘Kami percaya, ini semuanya berasal dari hadirat Tuhan kami,’ dan tidak mendapat peringatan seperti itu kecuali ulul-albab.” (QS. 3:7)

Arti lain dari ‘bersungguh-sungguh mencari ilmu’ adalah kesenangan dalam menafakuri dan menasyakuri ciptaan Allah. Karena Al-Qur’an mengajarkan kepada kita dua hal, yakni: tafakur dan tasyakur.

Tafakur adalah merenungkan ciptaan Allah di langit dan di bumi, serta menangkap hukum-hukum yang terdapat di alam semesta. Tafakur inilah yang kini kita sebut dengan istilah science.

Tasyakur adalah memanfaatkan nikmat dan karunia Allah dengan menggunakan akal pikiran, sehingga kenikmatan itu semakin bertambah. Tasyakur inilah yang kini kita sebut dengan istilah tekhnologi.

Ulul-albab senantiasa merenungkan ciptaan Allah di langit dan di bumi, dan berusaha mengembangkan ilmunya sedemikian rupa, sehingga karunia Allah dilipatgandakan nikmatnya.


2. Mampu membedakan yang jelek dari yang baik, dan dia menjatuhkan pilihan pada yang baik.

Meski harus sendirian mempertahankan kebaikan itu walau harus berhadapan dengan banyak orang yang berpihak pada kejelekan.

“Katakanlah, tidak semua kejelekan dan kebaikan, walaupun banyaknya kejelekan itu mencengangkan engkau. Maka takutlah kepada Allah, hai ulul-albab.” (QS. 5: 100)

3. Kritis dalam membaca pembicaraan orang lain, pandai mempertimbangkan ucapan, teori, proposi, pendapat atau dalil-dalil yang dikemukakan oleh orang lain.

“Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah ulul-albab.” (QS. 39: 18)

4. Senantiasa mengamalkan ilmunya kepada orang lain untuk memperbaiki masyarakatnya.

Bersedia memberikan peringatan kepada masyarakat, dan berani menyampaikan protes jika terjadi ketimpangan dan ketidakadilan.

Seorang ulul-albab tidak hanya duduk tepekur di dalam laboratoriumnya, dan tidak hanya membenamkan diri di antara buku-buku dalam perpustakaan. Dia hadir di tengah-tengah masyarakat, dan hatinya selalu terpanggil untuk memperbaiki ketidakberesan yang ada di masyarakat.

“(Al-Qur’an) ini adalah penjelasan yang cukup bagi manusia, dan supaya mereka diberi peringatan dengan dia, dan supaya mereka mengetahui bahwasannya Dia adalah Tuhan Yang Mahaesa dan agar ulul-albab mengambil pelajaran.” (QS. 14: 52)

5. Tidak takut kepada siapapun kecuali kepada Allah. Rasa takut ulul-albab yang hanya kepada Allah ini berulangkali disebutkan di dalam Al-Qur’an.

“Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai ulul-albab.” (QS. 2: 197)

“Maka bertakwalah kepada Allah hai ulul-albab, agar kamu mendapat keberuntungan.(QS. 5: 179)

“Allah menyediakan bagi mereka azab yang keras, maka bertakwalah kepada Allah hai ulul-albab.” (QS. 65: 10)

Intelektual dan Ketakwaan Dalam Islam

Kelima tanda-tanda ulul-albab sebagaimana tersebut di atas memang tidak jauh berbeda dengan tanda-tanda seorang intelektual. Karena seorang intelektual juga: bersungguh-sungguh mempelajari ilmu, mau mempertahankan keyakinannya, dan merasa terpanggil untuk memperbaiki kondisi masyarakatnya. Tetapi ada hal lain yang membedakan antara ulul-albab dengan intelektual sebagaimana tersebut dalam ayat Allah:

“Apakah orang yang bangun di tengah malam, lalu bersujud dan berdiri karena takut menghadapi hari akhirat, dan mengharapkan rakhmat Tuhannya; samakah orang yang berilmu seperti itu dengan orang-orang yang tidak berilmu dan tidak memperoleh peringatan seperti itu kecuali ulul-albab.” (QS. 39: 9)

Itulah beda antara ulul-albab dengan intelektual. Ulul-albab rajin bangun di tengah malam untuk menjalankan sholatul lail, dan dia selalu memohon ampunan dan mengharapkan rakhmat-Nya.

Selain itu, dalam Al-Qur’an disebutkan tanda ulul-albab yang lain, yakni:

“Dia zikir kepada Allah dalam keadaan berdiri, dalam keadaan duduk, dan dalam keadaan berbaring.” (QS. 3:191)

Dengan tanda-tanda khusus yang dimiliki ulul-albab itulah maka dapat disimpulkan bahwa ulul-albab adalah intelektual plus ketakwaan, intelektual plus kesalehan. Pada diri ulul-albab bersatu-padu sifat-sifat intelektual, dan sifat-sifat orang yang dekat dengan Allah SWT.

Islam senantiasa mengharapkan pada setiap jenjang pendidikan dapat terlahir seorang ulul-albab. Tidak hanya sekedar intelektual, ilmuwan, apalagi hanya sekedar sarjana. Dan untuk bisa melahirkan seorang ulul-albab, dibutuhkan transformasi pendidikan yang total dari para pendidik kepada muridnya.


Para guru dituntut untuk menciptakan keseimbangan antara pendidikan lahir dan pendidikan batin, seimbang dalam memberikan pendidikan duniawi dan pendidikan ukhrawi, dituntut untuk menyelaraskan nalar dan hati anak didik. Dengan demikian kita dapat senantiasa berharap, dalam setiap generasi akan bermunculan para ulul-albab.

Aplikasi dari mutsaqqoful fikri yang dapat dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari, antara lain:
1) Hafal juz 28 dan 29 dengan baik;
2) Membaca tafsir Al Qur’an juz 28 dan 29;
3) Mengaitkan antara Al Qur’an dengan realita;
4) Mengahafalkan seluruh hadits dari Arba’in An Nawaiah;
5) Menghafal 50 Riyadhush-Shalihin;
6) Mengkaji marhalah Madaniah dan menguasai karakteristiknya;
7) Mengenal sirah 20 syuhada dari kalangan sahabat ;
8) Mengetahui hukum Zakat;
9) Mengetahui fiqih Haji;
10) Membaca tujuh jam setiap pekan di luar spesialisasinya;
11) Mengetahui sisi-sisi Syumuliyatul Islam;
12) Mengetahui problematika kaum muslimin nasional dan internasional;
13) Mengetahui apa kerugian dunia akibat kemunduran kaum muslimin;
14) Mengetahui urgensi Khilafah dan kesatuan kaum muslimin;
15) Mengetahui arus pemikiran Islam kontemporer;
16) Menghadiri orientasi dan seminar-seminar kita;
17) Mengetahui dan mengulas tiga risalah ;
18) Mengetahui dan mengulas risalah Aqaid;
19) Memahami amal jama’I dan taat;
20) Membantah suara-suara miring yang dilontarkan kepada kita;
21) Mengetahui bagaimana proses berdirinya negara Israil:
22) Mengetahui informasi baru dari problematika kontemporer;
23) Memiliki kemampuan mengulas apa yang ia baca;
24) Menyebar luaskan apa saja yang diterbitkan oleh koran dan terbitan-terbitan kita;
25) Berpartisipasi dalam melontarkan dan memecahkan masalah


Luar biasanya Al-Quran...

Membaca Al Quran tidak akan mengurangi waktumu. Justru sebaliknya, ia akan menambah waktumu. Secara hitungan matematika dunia, me...

ARTIKEL POPULER