Kriteria pemimpin dalam Islam...

Jama’ah rahimakumullah… 

Melaksanakan amanah adalah salah satu  ajaran sangat penting dalam Islam. Sifat dasar seorang muslim adalah seorang yang “Amiin”, yang jujur, tidak menipu dan melakasanakan amanah yang dipikulkan di atas pundaknya. Dalam Alqur’an, sifat amanah juga selalu  disematkan kepada para Nabi. Tidak mungkin seorang Nabi menipu atau melalaikan tanggung jawabnya. Karena jika itu terjadi, maka tidak ada satupun manusia yang akan mempercayainya, apalagi mengikutinya. Maka sifat ini harus dimiliki para pemimpin yang diikuti oleh khalayak ramai, yangakan mewarnai sejarah peradaban umat manusia. Allah berfirman:


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.”(QS. Al-Anfal: 27)

Selain menjadi dalil perintah untuk melaksanakan amanah, terutama para kepada mereka yang memikul jabatan dan kekuasaan,  ternyata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyahmenggunakan ayat diatas sebagai dasar perintah untuk kepada orang mukmin untuk memilih pemimpin dan pejabat Negara secara umum. Jadi menurutnya, memilih pemimpin juga merupakan sebuah amanah yang harus kita tunaikan, karena dampak dari pilihan kita terhadap pemimpin akanberpengaruh dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat.Ibnu Taimiyyah menegaskan bahwa orang yang memberikan jabatan kepada seseorang semata-mata didasari atas relasi kekerabatan, nasab, teman, suku, ras, aliran atau karena disuap dengan harta atau keuntungan lainnya, atau karena ketidaksukaannya kepada orang yang semestinya berhak menerima jabatan tersebut, maka ia telah mengkhianati amanat Allah, Rasul dan orang-orang yang beriman. Hal itu beliau jelaskan dalam bukunyaas-Siyaasah asy-Syar’iyah. 

Dalam sistem politik Negara kita, dimana setiap orang mempunyai hak untuk menyalurkan aspirasinya untuk memilih pemimpin yang diyakininya mampu mengemban amanah tersebut, maka masing-masing kita mempunyai kesetaraan dan kesempatan yang sama untuk menyuarakan idealismenya. Artinya, setiap kita sebenarnya ikut bertanggung jawab terhadap baik buruknya dan berhasil gagalnya Negara kita, sebagai hasil dari pemimpin yang kita pilih.Oleh karena itu, jika kita memang menginginkan kebaikan untuk bangsa kita, mengharapkan perubahan yang ke arah yang lebih baik, maka sebagai rakyat biasa, peran yang bisa kita lakukan adalah memilih pemimpin dengan cara yang amanah, yang bisa kita pertanggungjawabkan di hadapan Allah subhanahu wata'ala. 

 

Jama’ah rahimakumullah… 

Kepemimpinan adalah kemestian dalam kehidupan manusia, dan dalam Islam -menurut Imam al-Mawardi- kewajiban memilih pemimpin disebutkan dalam Alqur'an yaitu dalam firman-Nya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman, taatlah Allah, Rasul, dan pemimpin kalian.”(Qs. An-Nisa’: 59)

Dalam ayat tersebut, Allah memerintahkan kepada kita untuk taat kepada Allah, Rasul dan pemimpin.Jika perintah untuk taat kepada pemimpin merupakan kewajiban, maka secara otomatis, perintah untuk mengadakan kepemimpinan dalam Islam adalah merupakan kewajiban, karena taat kepada pemimpin tidak bisa dilaksanakan tanpa adanya pemimpin itu sendiri. Sesuai dengan kaidah: “Suatu kewajiban yang tidak mungkin terlaksana kecuali dengan suatu hal, maka hal tersebut menjadi wajib.”Oleh karena itu, semua madzhab fikih sepakat bahwa memilih pemimpin adalah kewajiban. 

Lalu apakah kriteria seorang pemimpin yang berhak untuk dipilih?Masih menurut Imam al Mawardi sebagaimana dalam bukunya al-Ahkam as-Sulthaniyyah, ada beberapa syarat minimal yang terpenuhi dalam diri seorang pemimpin diantaranya: 

Yang pertama;Mampu bersikap adil. Seorang pemimpin haruslah mampu mewujudkan keadilan bagi rakyatnya. Semua orang di bawah kepemimpinannya harus diperlakukan sama, tanpa membedakan agama, ras, suku dan kedudukan sosial. Pemimpin yang zalim hanya akan menimbulkan kelompok-kelompok penentang yang akan berujung kepada konflik sosial yang tiada berakhir. 

Yang kedua;Mempunyai kecerdasan, pengetahuan dan kemampuan manajerial. Ini adalah syarat yang selayaknya ada pada seorang pemimpin, karena diantara tujuan kepemimpinan adalah mewujudkan kemakmuran kepada rakyatnya. Apabila seorang pemimpin tidak cakap, tidak berpengetahuan, atau tidak mampu mengatur pemerintahannya, maka kepemimpinan tidak akan mampu mewujudkan tujuan yang dicita-citakan bersama. 

Yang ketiga; Tidak mempunyai cacat fisik yang membuatnya tidak mampu melaksanakan  tugasnya sebagai pemimpin. Selayaknyalah seorang pemimpin mempunyai indera yang sempurna karena ia merupakan satu-satunya yang dipilih dari sekian juta penduduk. Jangan sampai karena kekurangan fisiknya, tugas-tugas kenegaraan dan kepemimpinan akan terabaikan, atau minimal tidak terlaksana dengan semestinya. 

Yang keempat;Mempunyai keberanian, ketegasan dan karakter yang kuat agar bisa mengambil keputusan, terutama pada situasi-situasi krusial yang membutuhkan keputusan yang cepat dan tepat. Jika seorang pemimpin selalu ragu, penakut, atau tidak mempunyai independensi dalam mengambil keputusan karena ditekan dan dipengaruhi pihak-pihak tertentu, pastilah kepemimpinannya tidak akan membawa kepada kemashlahatan karena keputusan yang diambilnya selalu salah, atau sengaja disalahgunakan oleh orang-orang yang berkepentingan. 


Hadirin yang dirahmati Allah ta’ala…. 

Sebagai tambahan penjelasan mengenai kriteria pemimpin yang layak dipilih, terdapat beberapa indikator yang dapat kita jadikan acuan kita dalam memilih pemimpin.Hal ini bisa kita ambil ayat-ayat dalam Alqur’an dan kisah-kisah umat terdahulu yang Allah sampaikan agar kita mengambil hikmahnya. 

Pertama; bahwa seorang kandidat harus memiliki track record yang baik sebelum diangkat sebagai pemimpin.Ia juga harus memiliki misi dan visi yang mulia untuk menyelamatkan bangsanya dari keterpurukan dan keterbelakangan di segala sektor kehidupan. Hal ini diisyaratkan ketika Allah subhanahu wata'ala  mengangkat Nabi Ibrahim alaihissalam sebagai pemimpin bagi seluruh manusia, karena prestasinya yang luar biasa dalam menunaikan misi yang diembannya. Ibrahim dinilai berhasil dalam berdakwah menegakkan tauhid dan mengembalikan loyalitas dan kepatuhan manusia kepada aturan Allah semata. Sejak remaja, ia telah berhasil menumbangkan berhala-berhala yang membuatnya harus menerima hukuman dibakar hidup-hidup oleh sang penguasa. Kemudian ketika usianya menginjak senja, beliau sabar dan menerima perintah Allah untuk menyembelih putranya, Ismailalaihissalam.Nabi Ibrahim kemudian membangun Ka’bah sebagai lambang kemurnian tauhid dan menjadi kiblat bagi seluruh umat manusia.Ibrahim tetap konsisten dalam memegang idealismenya, yakni membawa misi dakwah kerahmatan untuk alam semesta. 

Namun ketika Ibrahim memohon agar Allah berkenan mengangkat anak keturunannya sebagai pemimpin seperti dirinya, Allah pun menjawab, bahwa tidak boleh orang-orang yang zalim duduk di atas kursi kekuasaan (QS. Al-Baqarah: 124). Karena yang paling berhak menjadi pemimpin hanyalah orang-orang yang shaleh (QS. Al-Anbiya: 105). Tampilnya orang-orang zalim di atas panggung kekuasaan, lebih dikarenakan lemahnya orang-orang shaleh.Artinya, kepemimpinan bukan untuk diwariskan kepada anak keturuan, sehingga jika ayahnya menjadi perdana menteri, maka anaknya pun harus menjadi perdana menteri juga.Kepemimpinan haruslah dipegang oleh orang-orang yang benar-benar mempunyai visi untuk memakmurkan rakyatnya dalam ketaatan kepada Allah ta’ala. 

Kedua;memilih pemimpin juga harus memperhatikan asal-usul kelompok dan orang-orang yang ada disekitarnya. Lihatlah siapa yang  mempunyai pengaruh dalam keputusan-keputusan yang diambilnya. Karena betapapun bersih dan keshalihan sang calon, apabila ia berada dalam lingkaran pertemanan dan kelompok yang tidak baik, lambat laun keshalihannya akan terkikis dan keberadaannya justeru akan dimanfaatkan oleh kelompoknya demi melanggengkan prilaku menyimpang mereka. Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُونِكُمْ لَا يَأْلُونَكُمْ خَبَالًا
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya menimbulkan kemudharatan bagimu.”(QS. Ali Imran: 118).

 

Ketiga;pemilih juga harus jeli melihat motivasi sang calon. Orang yang ambisius dalam mencari jabatan tidak layak untuk diberi kepercayaan untuk menjadi pemimpin. Di antara indikasinya, jika ia menempuh segala jalan dan menghalalkan semua cara untuk mendapatkan jabatannya, baik dengan menyuap, berlaku curang dalam proses pemilihan dll. Ketika berhasil menjabat, orang seperti itu tidak akan segan-segan melakukan praktek kotor, demi mengeruk kekayaan pribadi sebesar-besarnya, atau mewujudkan agenda-agenda kerusakan yang berdampak luas kepada masyarakat. Allah berfirman:

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يُعْجِبُكَ قَوْلُهُ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيُشْهِدُ اللَّهَ عَلَى مَا فِي قَلْبِهِ وَهُوَ أَلَدُّ الْخِصَامِ (204) وَإِذَا تَوَلَّى سَعَى فِي الْأَرْضِ لِيُفْسِدَ فِيهَا وَيُهْلِكَ الْحَرْثَ وَالنَّسْلَ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ الْفَسَادَ
“Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan ia mempersaksikan kepada Allah atas (ketulusan) isi hatinya, padahal ia adalah penantang yang paling keras. Dan apabila ia berkuasa, maka ia berjalan di muka bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kerusakan.” (QS. Al-Baqarah: 204-205).

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ: قُلْتُ، يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَلَا تَسْتَعْمِلُنِي؟ قَالَ: فَضَرَبَ بِيَدِهِ عَلَى مَنْكِبِي ثُمَّ قَالَك يَا أَبَا ذَرٍّ ، إِنَّكَ ضَعِيفٌ، وَإِنَّهَا أَمَانَة، وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ، إِلَّا مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيهَا
Rasulullah saw. pernah mengingatkan Abu Dzar ra. yang sempat meminta jabatan. Beliau katakan, “Sesungguhnya jabatan ini adalah amanah dan sesungguhnya di akhirat akan menyebabkan kekecewaan dan penyesalan, kecuali bagi menunaikan haknya dan mampu menunaikan tugas sebagaimana mestinya” (HR. Muslim).

Di negara yang menganut sistem demokrasi seperti Indonesia, di mana kedaulatan dalam memilih pemimpin ada di tangan kita masing-masing, kita selaku umat berkewajiban memilih para pemimpin yang shalih, bersih, memiliki integritas, mempunyai pengetahun dan moral yang baik, serta mempunyai karakter yang kuat agar dapat melakukan eksekusi terhadap kebijakan-kebijakan yang pro masyarakat. Kesalahan dalam memilih pemimpin akan berakibat fatal dengan munculya orang-orang yang rakus, tidak berpihak kepada rakyat, dan tidak segan-segan menyengsarakan umat dan bangsa.. Na’udzu billah min dzalik. 

Semoga Allah menganugerahkan pemimpin yang mampu membawa kesejahteraan, kemakmuran, dan mewujudkan ketaatan dan penghambaan kepada Allah ta’ala. Amin ya rabbal alamin.

Oleh:: Ust. Achmad Dahlan, Lc., MA.

(Wakil Ketua Ikadi DIY)
  
 

Luar biasanya Al-Quran...

Membaca Al Quran tidak akan mengurangi waktumu. Justru sebaliknya, ia akan menambah waktumu. Secara hitungan matematika dunia, me...

ARTIKEL POPULER