Seorang muslim/muslimah adalah manusia yang beriman bahwa Allah SWT adalah Rabbnya, dan Muhammad Saw adalah nabi-Nya, serta islam pedoman hidupnya. Dampak itu semua nampak jelas dalam perkataan, perbuatan, dan amalannya.
Dia akan menjauhi apa-apa yang menyebabkan murka Allah, takut dengan siksa-Nya yang teramat pedih, dan tidak menyimpang dari aturan-Nya. Keimanan yang berbuah pada ketaatan kepada Allah SWT terhadap segala perintah dan larangan yang telah ditetapkan secara sunguh-sungguh.
Ketaatan kepada Allah SWT akan menelurkan kasih dan cinta yang tidak ternilai di sisi manusia. Ketaatan dan cinta kepada Allah ini bukanlah mudah diperoleh sekirannya persediaan kearah itu disepelekan. Bagi seorang da'i/da’iyah harus memiliki bekal keimanan yang benar sehingga mampu menembus relung hati dan dapat diterima oleh mad’unya terhadap materi yang disampaikan olehnya.
Ada sebab-sebab yang dapat menguatkan keimanan seseorang sehingga kadar keimanannya naik dan bertambah.
Firman Allah: "Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka karenanya dan kepada Tuhan merekalah mereka bertawakkal." (Q.S. 8:2).
Di samping itu ada pula perbuatan-perbuatan yang menyebabkan turunnya kadar keimanan seseorang seperti: bermaksiat kepada Allah. Rasulullah bersabda: "Tidaklah seorang mukmin berzina ketika ia mukmin, tidaklah seorang mukmin meminum khamar ketika mukmin, tidaklah seorang mukmin mencuri ketika ia mukmin." (HR. Bukhari, Muslim dan yang lainnya).
Untuk menjaga keimanan dibutuhkan penopang yang kokoh yaitu berupa keyakinan kepada Allah SWT dengan diiringi perbuatan-perbuatan taqwa dan menjauhi kemaksiatan sekecil apapun. Maka membersihkan hati dan menghilangkan sekat-sekat yang menutupinya dari hidayah Allah SWT adalah langkah pertama menuju keimanan yang hakiki.
Baca juga : Keterpaduan da'i dan da'iyah
Sebagai syarat diterimanya amal shalih
Allah SWT telah menjelaskan dalam kitab-Nya tentang hakikat iman, yang dengannya Allah menerima amal perbuatan manusia, serta tercapainya apa yang dijanjikan Allah SWT kepada orang-orang mukmin.
Firman Allah: "Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rosul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar." (Q.S 49:15).
Bahwasannya keimanan yang benar adalah keyakinan yang tidak tercampuri keraguan serta diiringi perbuatan sebagai buktinya seperti berjihad di jalan Allah baik dengan jiwa maupun harta.
Keyakinan dalam hati saja tidaklah cukup untuk membuktikan keimanan, hal ini tercermin dalam tindakan Iblis yang meyakini keesaan Allah tapi membangkang terhadap perintah-Nya. Firman Allah: "Iblis berkata, ya Tuhanku, beri tangguhlah aku sampai hari mereka dibangkitkan." (Q.S. 38:79).
Keimanan yang benar tersusun dari dua hal:
1. Keyakinan yang mantap tanpa dicampuri keraguan dan kebimbangan.
2. Amal perbuatan sebagai konsekwensi keyakinan.
Sedangkan perbuatan itu dapat dibagi menjadi tiga macam:
1. Perbuatan hati, seperti: Takut kepada Allah, bertawakkal kepada-Nya.
2. Perbuatan lisan, seperti: Mengucapkan Syahadatain, bertasbih, istighfar dan lainnya.
3. Perbuatan anggota tubuh seperti: Sholat, puasa, berjihad di jalan Allah, berusaha mencari rizki dan lain-lain.
Menjadikan hidup memiliki tujuan
Dengan iman yang benar maka kehidupan manusia menjadi terarah, dan memiliki tujuan yang jelas, sebagaimana yang selalu dibaca oleh muslim dalam setiap mengawali shalatnya : “Katakanlah; sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanya untuk Allah Tuhan semesta alam”. (Al-An’am : 162)
Karena itu, seorang muslim/muslimah harus mengetahui tujuan hidupnya, dalam berumah tangga, menjadi istri untuk suaminya, menjadi ibu untuk anak-anaknya, menjadi bagian masyarakat dan bergaul ditengah masyarakat, menjadi hamba Allah dan segala aktivitas, sikap dan perbuatannya hanya ditujukan karena Allah yang berlandaskan akidah yang benar dan iman yang mantap.
Bekal tarbiyah generasi awal
Rasulullah saw dalam mengawali dakwahnya di Mekkah, yang pertama kali disampaikan dan diajarkan kepada para sahabat adalah iman dan tauhid kepada Allah. Dalam kurun waktu 13 tahun para sahabat digembleng dengan keimanan sehingga mampu mencetak generasi yang teguh keimanan, kuat akidahnya dan lurus manhajnya.
Hendaknya muslim/muslimah harus mengambil tauladan para salafus shalih generasi awal untuk membekali diri dengan akidah dan iman, sehingga dengannya mencetak pribadi yang shalih, teguh dan lurus dalam menjalankan hidup di muka bumi, serta bisa menjadi tauladan bagi yang lain, terutama bagi anak-anak, saudara dan teman-temannya.
Menjadikan dakwah lebih kokoh
Ingatlah wahai muslim/muslimah bahwa dakwah yang tidak dilandasi dengan iman yang shahih tidak akan memberikan manfaat sama sekali, dirinya akan rapuh dan tidak mampu bertahan lama. Ibarat tong kosong nyaring bunyinya. Sekalipun ditopang dengan dana yang berlimpah, perangkat yang canggih dan retorika yang memukau, jika tidak berdasarkan iman maka semuanya merupakan fatamorgana yang tidak mampu memberikan manfaat dan tidak akan mampu bertahan lama.
Faham komunis dan sekularis merupakan dua contoh konkret akan rapuhnya sebuah ajaran yang tidak berlandaskan iman. Begitupun dengan aliran sesat seperti Ahmadiyah, syiah, al-qiyadah al-islamiyah dan lain-lainnya sekalipun mereka mengaku membawa ajaran Islam namun tidak berlandaskan akidah yang murni pada sendirinya akan hancur dan tidak akan bertahan lama.
Kunci kebahagiaan dunia akhirat
Dalam surat Al-Baqarah ayat 202, Allah berfirman : “Dan diantara mereka ada yang mendo'a : '' Ya Tuhan Kami , berilah kami kebaikan didunia dan kebaikan diakhirat dan pelihara kami dari siksa Neraka. Merekalah Orang-orang yang mendapat kebahagian dari apa yang mereka usahakan, dan Allah sangat cepat perhitungan-Nya.''
Firman Allah diatas menjelaskan kepada kita tentang nasib baik bagi orang-orang yang berusaha dan senantiasa berdo'a untuk mendapat keselamatan akhirat. Sebenarnya, itulah tujuan utama seorang muslim, ialah diselamatkannya dari api neraka. Hakikat dan tujuan hidup inilah yang merupakan kendali agar dalam hidupnya, manusia akan berhati-hati, dia tidak akan berbuat semaunya sendiri.
Baca juga : Usaha dalam Islam...
Kita menyadari, bahwa kehidupan dunia adalah sangat sementara, karena kita semua pada saatnya nanti akan dipanggil kembali oleh Allah untuk meneruskan hidup di alam abadi di akhirat nanti. Oleh sebab itu, Islam memerintahkan umatnya guna mempersiapkan diri dengan bekal yang cukup untuk kehidupan yang tak terbatas, tentang kehidupan dunia, dengan jelas Allah menjelaskan dalam Al-qur'an Surat Al-Hadid ayat 20 sebagai berikut :
"Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu adalah permainan. dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian menjadi hancur. Dan akhIrat dan nanti ada adzab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaannya dan kehidupan ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu."
Jika Allah swt melukiskan kehidupan dunia ini dengan perumpamaan yang rendah, bukanlah maksudnya untuk meremehkan sama sekali kehidupan dunia ini. Akan tetapi, sebagai satu peringatan zaman sampai manusia menyangkutkan hatinya kepada kenikmatan yang sifatnya sementara.
Pada ayat tadi sekaligus digambarkan pula tentang kenikmatan kehidupan di alam akhirat kelak bagi orang-orang yang berbuat kebajikan di dunia ini, suatu kehidupan yang penuh kasih sayang, penuh ampunan, dan penuh ridho Ilahi.
Menurut sudut pandang Islam, diperlukan suatu tata hidup yang seimbang antara kebutuhan-kebutuhan dunia dan akhirat. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Qashash ayat 77 : “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu berupa kebahagiaan negeri akhirat, tetapi janganlah kamu melupakan bagianmu dari kenikmatan duniawi, dan berbuat baiklah kepada orang lain sebagaiman Allah telah berbuat baik kepadamu dan janganlah kamu berbuat kamu kerusakan di muka bumi sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”.
Seorang muslim yang betul-betul beriman, tidaklah akan terpesona oleh kemewahan dan kenikmatan hidup di dunia. Sebab dia yakin bahwa semua itu akan sirna dan lenyap. Ia ingin mendapatkan kenikmatan dunia dengan berusaha sekuat tenaga, tetapi dia juga berusaha sekuat tenaga untuk menabung amal shaleh dan beribadah untuk kebahagiaannya nanti di akhirat.
Dalam kehidupan dunia yang sementara, tidak sedikit manusia yang terbujuk dan terpikat, ia lupa akan hakikat dan tujuan hidupnya, lalu terjerumuslah ia ke lembah kesesatan dan kehancuran. Ia berusaha menikmati manisnya dunia sepuas-puasnya, dan bersedia melakukan berbagai cara untuk mendapatkan kenikmatan itu. Ia tak segan berbohong, melakukan pemerasan dan penindasan terhadap sesama, dan lain sebagainya. Jika sudah demikian, hilanglah rasa kasih sayang dan persaudaraan seseorang, lalu hilanglah imannya kepada Allah.
Jika Allah swt melukiskan kehidupan dunia ini dengan perumpamaan yang rendah, bukanlah maksudnya untuk meremehkan sama sekali kehidupan dunia ini. Akan tetapi, sebagai satu peringatan zaman sampai manusia menyangkutkan hatinya kepada kenikmatan yang sifatnya sementara.
Pada ayat tadi sekaligus digambarkan pula tentang kenikmatan kehidupan di alam akhirat kelak bagi orang-orang yang berbuat kebajikan di dunia ini, suatu kehidupan yang penuh kasih sayang, penuh ampunan, dan penuh ridho Ilahi.
Menurut sudut pandang Islam, diperlukan suatu tata hidup yang seimbang antara kebutuhan-kebutuhan dunia dan akhirat. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Qashash ayat 77 : “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu berupa kebahagiaan negeri akhirat, tetapi janganlah kamu melupakan bagianmu dari kenikmatan duniawi, dan berbuat baiklah kepada orang lain sebagaiman Allah telah berbuat baik kepadamu dan janganlah kamu berbuat kamu kerusakan di muka bumi sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”.
Seorang muslim yang betul-betul beriman, tidaklah akan terpesona oleh kemewahan dan kenikmatan hidup di dunia. Sebab dia yakin bahwa semua itu akan sirna dan lenyap. Ia ingin mendapatkan kenikmatan dunia dengan berusaha sekuat tenaga, tetapi dia juga berusaha sekuat tenaga untuk menabung amal shaleh dan beribadah untuk kebahagiaannya nanti di akhirat.
Dalam kehidupan dunia yang sementara, tidak sedikit manusia yang terbujuk dan terpikat, ia lupa akan hakikat dan tujuan hidupnya, lalu terjerumuslah ia ke lembah kesesatan dan kehancuran. Ia berusaha menikmati manisnya dunia sepuas-puasnya, dan bersedia melakukan berbagai cara untuk mendapatkan kenikmatan itu. Ia tak segan berbohong, melakukan pemerasan dan penindasan terhadap sesama, dan lain sebagainya. Jika sudah demikian, hilanglah rasa kasih sayang dan persaudaraan seseorang, lalu hilanglah imannya kepada Allah.