Konsekuensi syahadat kedua...

Sifat kerasulan menunjukan bahwa beliau benar-benar seorang rasul; utusan Allah yang dipilih dari hamba-hamba-Nya. Beliau adalah manusia terbaik, manusia pilihan, seseorang yang tepercaya dan menjadi kepercayaan Allah. Dengan penetapan sifat kerasulan bagi beliau ini, mengandung konsekuensi-konsekuensi sebagai berikut:

1. Kita harus memuliakan dan mengutamakan beliau di atas seluruh manusia.

Menghormati beliau beserta segenap syariat yang dibawanya di atas seluruh syariat lainnya. Hal itu semua tidak akan terwujud kecuali dengan mengamalkan syariatnya dan mencintainya di atas kecintaan terhadap diri sendiri.


Allah berfirman: “Sesungguhnya Kami mengutusmu sebagai saksi, pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, supaya kamu sekalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, mengagungkan dan memuliakannya serta menghormatinya… (al-Fath: 8-9)

2. Mendahulukan ucapannya di atas seluruh ucapan manusia tanpa terkecuali dan beramal dengan sunnah-sunnahnya.

Allah ta’ala berfirman: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (al-Hujurat: 1)

3. Mentaati perintahnya dan menjauhi larangannya.

Allah ta’ala berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya”. (an-Nisa’: 59)

Dan dalam ayat lain Allah berfirman: “Apa yang ditetapkan Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa yang dilarang bagimu, maka tinggalkanlah”. (al-Hasyr: 7)

4. Menjadikannya sebagai suri tauladan dalam semua sisi kehidupan kita.

Yaitu dengan menjadikan sunnahnya sebagai sumber hukum yang tidak dapat dipisahkan dengan Al Qur’an.

Allah ta’ala berfirman: "Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu; bagi orang yang mengharap (rahmat) dan hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (al-Ahzab: 21)

Baca juga : Sifatur Rasul...

“Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikanmu sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (an-Nisa’: 65)

Dengan dua sifat Rasulullah yakni sebagai Rasul dan hamba Allah swt  ini tertutuplah dua pintu kesesatan dan penyimpangan dari golongan yang berlebih-lebihan (al ifrath) dan golongan yang bermudah-mudahan (at-tafrith).

Golongan al ifrath adalah mereka yang melampaui batas dalam memuji dan mengangkat Rasulullah sehingga menyamakan derajatnya dengan Allah atau memberikan sifat-sifat yang sesungguhnya hanya layak bagi Allah semata atau mendudukkannya seperti kedudukan Allah.

Mereka yang berlebih-lebihan dalam memuji Rasulullah telah menyerupai Nasrani ketika menuhankan nabi Isa ‘alaihis salam, Rasulullah pun memperingatkan umatnya agar jangan seperti mereka.

Rasulullah bersabda: “Janganlah kalian memuji aku secara berlebihan sebagaimana Nasrani memuji Isa bin Maryam, aku hanyalah seorang hamba maka katakanlah: “Hamba Allah dan Rasul-Nya”. (HR. Bukhari Muslim)

Rasulullah tidak berkenan dipuji secara berlebihan dan melampaui batas sebagaimana umat Nasrani melakukannya kepada Isa bin Maryam. Sedemikian berlebihannya mereka dalam memuji Nabi Isa hingga mereka memberikan derajat ketuhanan kepadanya. Rasulullah tidak menghendaki hal itu terjadi pada dirinya dan dilakukan oleh umatnya.

Dalam suatu riwayat disebutkan: “Ketika sekelompok orang datang kepada Rasulullah sambil mengatakan: “Engkau adalah Yang paling Agung dan Mulia yang tiada tandingannya”. Maka beliau berkata: “Berkatalah kalian tapi jangan dirasuki setan”. (HR Abu Daud)

Sebagian lagi ada yang berkata: “Ya Rasulullah engkau yang paling baik, anak orang yang paling baik dan Sayyid kami, anak dari Sayyid kami”. Beliau menjawab: “As-Sayyid adalah Allah”, dan bersabda: “Wahai segenap manusia berkatalah kalian dengan perkataanmu dan janganlah kalian dikuasai hawa nafsu setan, aku adalah Muhammad hamba Allah dan Rasul-Nya. Aku tidak suka jika kalian meninggikan kedudukanku di atas kedudukan yang telah Allah tempatkan bagiku”. (HR. Ahmad dan Nasa’i)

Perbedaan mereka dengan kaum Nasrani adalah bahwa jika kaum Nasrani menyatakan dengan tegas Isa adalah Tuhan-Nya, titisan Tuhan, atau anak Tuhan sesuai dengan perselisihan yang ada pada mereka. Adapun mereka yang ghuluw (berlebih-lebihan) terhadap Rasulullah tidak mengucapkan lafadz-lafadz seperti Nasrani, tetapi mereka mengungkapkannya dalam bentuk perbuatan yaitu: berdoa kepadanya, menganggapnya ikut menakdirkan sesuatu bersama Allah, dapat menentukan manfaat dan madharat, menentukan kebahagiaan dan kesengsaraan dan lain-lain.


Bahkan mereka memberikan sifat-sifat yang sesungguhnya hanya layak bagi Allah seperti: mengetahui yang ghaib, pemberi jalan keluar dari kesulitan-kesulitan, penolong hamba yang berada dalam kesusahan di manapun ia berada, ruhnya diyakini hadir di tengah-tengah mereka ketika membaca syi’ir pujian kepadanya, padahal beliau telah wafat.

Lebih dari itu julukan-julukan yang berlebihan acap disandarkan kepada beliau seperti “Engkau (Muhammad) adalah cahaya di atas cahaya”

Dan dari kedermawananmu (adanya) dunia dan pasangannya,

Dan termasuk dari ilmumu adalah ilmu Lauhul mahfudz dan pena.

Dan ucapan-ucapan ghuluw lainnya. Beliau tidak ridha dengan semua yang mereka ucapkan dan sangkakan kepadanya. Karena Allah ta’ala telah memerintahkan beliau untuk menyatakan:

Katakanlah: “Aku tidak berkuasa memberikan kemanfaatan bagi diriku dan tidak pula mampu menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku akan berbuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman”. (al-A’raaf: 188)

Keyakinan dan prinsip batil itu masih hidup di tengah-tengah umat. Inilah yang kita katakan dengan golongan ahlul ifrath atau ahlul ghuluw (golongan yang melampaui batas). Sebaliknya bagi golongan ahlut tafrith, mereka menjatuhkan martabat beliau dan merendahkannya dengan menolak sunnah-sunnahnya secara total seperti yang terjadi pada para pengingkar sunnah yang dikenal dengan istilah aliran ingkarus sunnah atau qur’aniyun. Mereka ini dikafirkan oleh para ulama dan dihukumi sebagai murtad (keluar dari agama Islam) dikarenakan kalimat syahadat yang diyakininya hanya sebatas لاَ إِلَهَ إِلَّا الله sehingga membatalkan persaksiannya terhadap kalimat مُحَمَّدًا رَسُوْلُ الله dengan pengingkarannya terhadap sunnah-sunnah Nabinya.

Mereka para pengingkar sunnah itu diancam oleh Allah dengan ancaman yang berat. Allah ancam mereka dengan Jahannam dan kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ta’ala berfirman:

“…Dan barang siapa yang bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya baginyalah neraka Jahannam, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya”. (al-Jin: 23) 

Baca juga : Makanatur Rasul...

Allah ancam mereka dengan kesesatan di dunia dan azab neraka di akhirat, Allah ta’ala berfirman:

“… Dan barang siapa yang menentang Rasul setelah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (an-Nisa’: 115)

Serta diancam dengan fitnah kesesatan dan kekufuran. Sebagaimana firman Allah: “Maka hendaklah orang-orang yang menyelisihi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (An Nuur: 63)

Demikian pula bagi mereka yang menolak sebagiannya seperti yang terjadi pada ahlul bid’ah dari kalangan Mu’tazilah, kaum rasionalis, Islam liberal dan sejenisnya. Mereka adalah golongan sesat yang diancam oleh Rasulullah dengan neraka. Inilah yang dikatakan dengan ahlut tafrith wal jafa’. Mereka merendahkan Rasulullah dan menganggapnya hanya sebagai seorang pengantar surat yang mana mereka menerima suratnya yaitu Al Qur’an, menurut mereka dan tidak ada kaitannya dengan pengantarnya.

Dua golongan tersebut di atas terbantah dengan makna yang terkandung dalam kalimat syahadat
مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُه. Dan golongan tersebut bertentangan dengan syahadat مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُه. Ahlul ifrath menentang kehambaan beliau yang terkandung dalam مُحَمَّدًا عَبْدُه dan ahlut tafrith menentang kerasulan beliau yang terkandung dalam kalimat مُحَمَّدًا رَسُوْلُ الله.

Kesimpulan dari pembahasan kali ini adalah bahwa syahadat
مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ memberikan konsekuensi kepada kita yaitu keharusan bagi kita untuk mentaati segala apa yang diperintahkan-Nya, membenarkan segenap apa yang dikabarkannya, meninggalkan segala yang dilarang dan dicelanya dan kita tidaklah beribadah kepada Allah kecuali dengan syariat yang telah disampaikan oleh Rasulullah kepada kita serta mendahulukan sunnah beliau di atas segenap ucapan manusia tanpa terkecuali siapapun ia orangnya.

Ya Allah, rahmatilah Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau merahmati Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia. Ya Allah, berkahilah Muhammad dan keluarganya, sebagaimana Engkau memberkahi Ibrahim dan keluarganya. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia.


Luar biasanya Al-Quran...

Membaca Al Quran tidak akan mengurangi waktumu. Justru sebaliknya, ia akan menambah waktumu. Secara hitungan matematika dunia, me...

ARTIKEL POPULER