Manusia merupakan makhluk ciptaan Allah SWT yang tidak pernah luput dari perbuatan dosa. Baik secara sengaja ataupun tidak.
Namun meskipun sama-sama sering berbuat dosa ada saja manusia yang mengejek manusia lainnya karena melakukan perbuatan dosa.
Mereka menganggap bahwa orang lain lebih buruk dibanding dirinya karena telah melakukan dosa tersebut.
Orang yang demikian ini selalu beranggapan bahwa dirinya jauh lebih baik sehingga meremehkan orang lain.
Dalam Islam mengejek orang yang berbuat dosa itu hukumnya adalah tidak diperbolehkan dan justru akan mengakibatkan orang yang melakukan perbuatan tersebut akan mendapatkan dosa yang sama.
Jangan merasa diri bisa selamat dari dosa sehingga meremehkan orang lain yang berbuat dosa, apalagi bila meremehkannya dalam rangka sombong.
Dengarlah sabda Rasulullah SAW berikut : dari Mu’adz bin Jabal, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Baca juga : Adab ketika terjadi gerhana...
“Siapa yang menjelek-jelekkan saudaranya karena suatu dosa, maka ia tidak akan mati kecuali mengamalkan dosa tersebut.” (HR. Tirmidzi no. 2505. Syaikh Al-Albani berkata bahwa hadits ini maudhu’).
Imam Ahmad menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah dosa yang telah ditaubati.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Setiap maksiat yang dijelek-jelekkan pada saudaramu, maka itu akan kembali padamu. Maksudnya, engkau bisa dipastikan melakukan dosa tersebut.” (Madarijus Salikin, 1: 176)
Hadits di atas maknanya bukanlah dilarang mengingkari kemungkaran. Ta’yir (menjelek-jelekkan) yang disebutkan dalam hadits berbeda dengan mengingkari kemungkaran. Karena menjelek-jelekkan mengandung kesombongan (meremehkan orang lain) dan merasa diri telah bersih dari dosa. Sedangkan mengingkari kemungkaran dilakukan lillahi Ta’ala, ikhlas karena Allah, bukan karena kesombongan. Lihat Al-‘Urf Asy-Syadzi Syarh Sunan At-Tirmidzi oleh Muhammad Anwar Syah Ibnu Mu’azhom Syah Al-Kasymiri.
Bedakan antara menasihati dengan menjelek-jelekkan. Menasihat berarti ingin orang lain jadi baik. Kalau menjelek-jelekkan ada unsur kesombongan dan merasa diri lebih baik dari orang lain.
Jangan sombong, sampai merasa bersih dari dosa atau tidak akan terjerumus pada dosa yang dilakukan saudaranya.
Terkadang ada saudara kita yang melakukan dosa atau maksiat, kemudian menjadi bahan perbincangan atau ghibah. Padahal bisa jadi pelaku dosa tersebut sudah bertaubat dari dosa tersebut. Mengenai hal ini, mari kita perhatikan nasihat dari beberapa ulama, yaitu orang yang menjelek-jelekkan saudaranya yang sudah bertaubat dari dosa, bisa jadi dia akan melakukan dosa tersebut.
Misalnya ada teman kita yang ketahuan selingkuh atau berzina, maka kita pun heboh membicarakannya bahkan mencela serta terlalu banyak berkomentar dengan menerka-nerka saja. Hal ini sebaiknya dihindari, sikap muslim adalah diam, menasehati dengan cara empat mata, dan berharap kebaikan pada saudaranya terlebih ia sudah menyesal dan mengaku salah.
Syaikh Al-Mubarakfuri menjelaskan, bisa jadi ia terjerumus dalam dosa yang sama karena ada faktor kagum terhadap dirinya sendiri, sombong dan mensucikan diri. Seolah dia berkata kamu kok bisa terjerumus dalam maksiat/dosa itu, lihatlah aku, sulit terjerumus dalam dosa itu. Tentu ini bentuk kesombongan yang nyata dan sangat merendahkan orang lain.
Beliau berkata, “Allah akan membalas dengan memberikannya jalan hingga ia akan melakukan maksiat yang ia cela yang dilakukan oleh saudaranya. Hal tersebut karena ia sombong/kagum dengan dirinya sendiri karena ia merasa selamat dari dosa tersebut.”
Demikian juga Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa menjelek-jelekkan saudaranya yang telah melakukan dosa, maka bisa jadi ia akan melakukan dosa tersebut.
“Setiap maksiat yang dijelek-jelekkan pada saudaramu, maka itu akan kembali padamu. Maksudnya, engkau bisa dipastikan melakukan dosa tersebut.”
Baca juga : Adab dalam bertetangga...
Beliau melanjutkan penjelasan bahwa dosa mencela saudaranya yang telah melakukan dosa itu lebih besar dari dosa itu yang dilakukan oleh saudaranya.
Beliau berkata, “Engkau mencela saudaramu yang melakukan dosa, ini lebih besar dosanya daripada dosa yang dilakukan saudaramu dan maksiat yang lebih besar, karena menghilangkan ketaatan dan merasa dirinya suci.”
Para ulama sudah mengingatkan mengenai hal ini, terlebih mereka adalah orang yang sangat berhati-hati dan takut kepada Allah.
Seorang ulama Ibrahim An-Nakha’i berkata, “Aku melihat sesuatu yang aku tidak suka, tidak ada yang menahanku untuk berkomentar dan membicarakannya kecuali karena aku khawatir aku yang akan ditimpakan masalahnya dikemudian hari.”
Hasan Al Basri berkata, “Para sahabat dan tabi’in memiliki konsep, barang siapa yang mencela saudaranya, karena dosa-dosanya, sedangkan saudaranya itu sudah bertaubat kepada Allāh, maka si pencela tidak akan meninggal dunia kecuali dia akan mengalami dosa saudaranya tersebut.”
Semoga kita bisa menjaga lisan kita karena lisan sangat berbahaya jika tidak terkontrol.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya ada seseorang yang berbicara dengan satu kalimat, ia tidak menganggapnya berbahaya, namun dengan sebab satu kalimat itu ia terjungkal selama tujuh puluh tahun di dalam neraka.”
Jika kita bisa menjaga lisan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menjamin surga kepada kita. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang menjamin untukku apa yang ada di antara dua rahangnya dan apa yang ada di antara dua kakinya, niscaya aku menjamin surga baginya.”